Thursday, August 25, 2011

“MENINJAU KEMBALI TUGAS DAN WEWENANG PENUNTUTAN OLEH KPK DAN KEJAKSAAN DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA”



Bab I
Pendahuluan

a.      Latar Belakang
Proses pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan merupakan rangkaian kegiatan pembangunan mencakup berbagai dimensi, termasuk pembangunan hukum yang merupakan subsistem yang patut mendapat perhatian pemerintah dan aparatur penegak hukum. Hal ini disebabkan karena aspek hukum merupakan pilar berdirinya NKRI.

Penegakan hukum merupakan proses pelaksanaan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat. Pelaksanaan hukum dalam masyarakat selain tergantung dari kesadaran hukum juga sangat ditentukan oleh para penegaknya. Peraturan hukum tidak terlaksana dengan baik disebabkan oleh aparat penegak hukum tidak melaksanakan ketentuan hukum dengan cara yang semestinya. Dalam kaitan dengan ini maka Menurut J.E. sahetapy, berbicara tentang hukum rasanya tidaklah begitu sulit. Bertindak sesuai dengan hukum acapkali tidak mudah, tetapi yang paling sulit adalah menapik hukum yang tidak benar, adil, dan sewenang-wenang. 
Demikian halnya penegakan hukum terkait dengan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Upaya meminimalkan tindak pidana korupsi sudah menjadi perhatian bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari upaya pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang ini pemerintah pada masa pemerintahan Soeharto telah membentuk Komisi 4 dan Komisi Anti Korupsi yang terdiri dari aktivis mahasiswa eksponden.

Pada tahun 1977, pemerintah pada masa kepemimpinan Soeharto melancarkan Operasi Penertiban (OSTIB). OPSTIB merupakan gabungan dari unsur kepolisian, kejaksaan, dan militer sebagai aparatur negara. Kemudian pemerintah mengeluarkan undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, setelah itu dibentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). 
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU No.30 Tahun 2002 membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang  merupakan lembaga independen dengan tujuan pemberantasan korupsi dengan menjalankan tugasnya berasas pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Dalam menjalankan tugasnya berdaarkan UU, KPK berfungsi sebagai pemicu pemberdayaan institusi yang tekah ada dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
 Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudiyhono, dalam program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu Koruptor dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIMTAS TIPIKOR) yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2005, walaupun keberadaan lembaga dan tim pemberantas korupsi lainnya tidak menghambat aktivitas KPK dalam menjalankan fungsi dan perannya. 
Berdasarkan peraturan yang terdapat dalam UU, KPK merupakan lembaga tertinggi (Super Agency) dan kewenangan (Powerfull) diharapkan dapat menjadi satu-satunya dan lembaga terakhir dalam pemberantasa korupsi. OLeh karena itu, berdasarkan uraian diatas, maka kami tertarik untuk melakukan penulisan dengan judul “MENINJAU KEMBALI TUGAS DAN WEWENANG PENUNTUTAN OLEH KPK DAN KEJAKSAAN DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA”

Bab II
Pembahasan

a.      Konsep KKN
Dalam ajaran klasik, korupsi merupakan persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal. Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya.
Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri. Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi. 

b.      Realita Praktek KKN di Indonesia

Praktek KKN di Indonesia tergolong cukup tinggi. Dari data yang ada, diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar. Sebut saja kasus Dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10 tahun. Kasus lainnya yaitu Letter of Credits fiktif yang merugikan negara samapi sebesar 1,7 Trilyun.

c.      Komisi Pemberantasan Korupsi

1        .        Sejarah Pembentukan dan Kinerja KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK pada dasarnya dibentuk dengan tujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi secara efektif dan efisien. KPK ini merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, termasuk didalamnya proses penuntutan. KPK dibentuk dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Presiden SBY dalam program 100 hari kerja pada masa pemerintahannya periode lalu memasukan pemberantasan korupsi dalam skala yang penting mengingat tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun terus meningkat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali membawa kendala dalam pembangunan nasional karena korupsi pada intinya adalah pencurian terhadap kas negara. Dan karena itu, tindak pidana korupsi bukanlah hanya kejahatan biasa melainkan kejahatan luar biasa.

2     .      Tugas dan Wewenang KPK
Menurut ketentuan Pasal 6 UU Nomor  32 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas yaitu :
-          Koordinasi dengan instantsi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
-          Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
-          Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
-          Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
-          Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sedangkan wewenang dari KPK adalah :
-          Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
-          Menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
-          Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
-          Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yag berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
-          Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.


a.      Benturan Terhadap Penuntutan KPK dan Kejaksaan

Kewenangan melakukan penuntutan ini diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam Pasal 6, KPK memiliki tugas antara lain salah satunya adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam prakteknya, tidak hanya KPK saja yang melakukan penyelidikan dan penyidikan karena diatur dalam Pasal 14 bagian g bahwa Kepolisian bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pertama, bagaimana eksistensi Kejaksaan RI dalam melaksanakan supremasi di bidang penuntutan sehubungan dengan sistem peradilan pidana terpadu;  Kedua, Kendala apa saja yang dihadapi oleh Kejaksaan dengan adanya lembaga lain yang memiliki kewenangan penuntutan yang sama dengan Kejaksaan;  ketiga, Indikator apa saja yang dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan supremasi Kejaksaan agar menjadi satu-satunya lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan
Hasil Pengkajian ini menunjukkan bahwa :
1.      Bahwa eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum nasional dapat dilihat dari:
  • Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
  • Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan.
  • Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
2.      Bahwa pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan antar lembaga penegak hukum lainnya dalam hal:
  • Koordinasi berkas perkara antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian pada tahap prapenuntutan.
  • Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara Kejaksaan dan Pengadilan terhadap status pengalihan penahanan selama pemeriksaan di persidangan dan peralihan pada saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
  • Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara tindak pidana korupsi.
3.      Bahwa permasalahan tersebut terjadi karena masih adanya tumpang tindih konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan yaitu:
  • Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan Kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan.
  • Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri dan independen.
  • Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres No 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang memiliki kewenangan yang demikian besar, berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin membengkak, yang mengesampingkan asas dominus litis (sebagai pengendali proses perkara) dan prinsip een on deelbaar (Kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisah).
4.      Bahwa apabila mengacu pada tugas dan kewenangan Kejaksaan di berbagai macam sistem penuntutan yang berlaku di berbagai negara, maka dapat dilihat Jaksa sangat berperan aktif dalam proses penyidikan hingga penuntutan sebagai berikut:

a.     Sistem Anglo Saxon
Dalam sistem ini meski secara teoritis polisi dan kejaksaan memiliki kewenangan masing-masing, namun polisi yang melakukan penyelidikan perkara diwajibkan melaporkannya kepada jaksa sedini mungkin, serta memerlukan persetujuan jaksa untuk melakukan penuntutan tersebut. Sehingga dalam prakteknya, polisi harus mematuhi nasihat jaksa mengenai pengumpulan bukti-bukti tambahan dari awal agar perkara yang diselidikinya membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Selain itu polisi juga harus mematuhi keputusan jaksa untuk menghentikan penyidikan karena penuntutannya akan dihentikan. Negara yang menerapkan sistem ini adalah negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris seperti Selandia Baru, Australia, Kanada, Malaysia, dan Singapura.

b.     Sistem Anglo American
Dalam sistem ini jaksa merupakan satu-satunya pejabat yang paling berkuasa dalam sistem peradilan pidana karena jaksa memiliki pengaruh yang sangat besar dan berarti sekali terhadap tindakan pejabat peradilan pidana yang manapun. Selain itu, kewenangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut serta untuk menerima pengakuan tersangka agar memperoleh dakwaan yang lebih ringan (plea guilty) benar-benar sangat menentukan. Sedangkan di dalam perkara yang sangat berat seperti pembunuhan, jaksa memimpin penyelidikan baik secara perseorangan atau bersama-sama dengan polisi mendatangi tempat kejadian tindak pidana. Negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat.


c.     Sistem Eropa Kontinental
Dalam sistem ini jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana karena memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan. Meskipun dalam pelaksanaan di lapangan polisi memiliki kemampuan yang handal dalam proses pengumpulan bukti-bukti di tempat kejahatan, akan tetapi tetap saja tergantung pada nasihat dan pengarahan jaksa. Hal ini disebabkan karena jaksa lebih mahir dalam masalah yuridis dan memiliki hak utama yang eksklusif dalam menghubungi pengadilan. Bahkan di negara-negara yang menganut sistem ini, dimana jaksa tidak melakukan penyidikan sendiri, jaksa tetap memiliki kebijaksanaan penuntutan yang luas untuk menetapkan apakah akan menuntut atau tidak menuntut hampir segala perkara pidana. Contoh negara-negara yang menerapkan sistem ini beserta variasinya adalah Jerman, Portugal, Spanyol, Belanda, Perancis dan beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin bekas jajahan negara-negara Eropa Kontinental.

5.      Bahwa hal lain yang dapat juga dijadikan acuan dalam permasalahan dualisme kewenangan penuntutan di Indonesia adalah tugas dan kewenangan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi di berbagai negara yang memiliki tujuan yang sama untuk melakukan pemberantasan korupsi seperti KPK di Indonesia, hanya saja kewenangannya hanya sampai tahap penyidikan dan selanjutnya Kejaksaan yang berwenang untuk menentukan apakah perkara yang disidik tersebut dapat atau tidak untuk diajukan penuntutan ke pengadilan. Kewenangan lembaga-lembaga tersebut telah sesuai dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against Corruption yang menyebutkan bahwa pembentukan badan independen di setiap negara dalam rangka pemberantasan korupsi adalah sebagai sarana untuk tindakan pencegahan, akan tetapi kewenangan KPK di Indonesia yang dapat juga melakukan penuntutan melampaui apa yang diatur dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut. Sebagai contohnya dapat dilihat sistem kerja atau kewenangan komisi pemberantasan korupsi di negara-negara tetangga Indonesia yaitu Singapura, Malaysia dan Australia sebagai berikut:
  • Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura CPIB merupakan sebuah badan pemberantasan korupsi independen yang bertanggung jawab untuk melakukan investigasi dan tindakan preventif korupsi yang berada di Singapura. Kedudukan badan ini langsung di bawah Perdana Menteri dan dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kewenangan menentukan sendiri siapa yang akan dituduh. Meskipun tugas utamanya adalah melakukan investigasi atas kasus-kasus korupsi di lingkungan pemerintah dan swasta, tetapi untuk melakukan penuntutan yang melakukannya adalah Kejaksaan Singapura atau Attorney General Chamber (AGC). Selanjutnya AGC akan menelaah secara detail berkas yang diajukan CPIB untuk diajukan ke pengadilan. Apabila tidak cukup bukti, kasus tersebut disarankan oleh AGC ke CPIB untuk dialihkan ke proses berdasarkan ketentuan administratif pegawai negeri, misalnya dikategorikan sebagai kasus pelanggaran disiplin.
  • Badan Pencegah Rasuah (BPR) di Malaysia BPR dibentuk dengan tujuan untuk menghapuskan segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan di Malaysia. Ketua badan ini berada di bawah Perdana Menteri serta memiliki kantor pusat dan cabang di setiap negara bagian. Dalam pengajuan tuntutan ke pengadilan, BPR harus mendapat ijin dari pihak Jabatan Peguam Negara (Jaksa Agung Malaysia) yang memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan apakah kasus tersebut diteruskan ke pengadilan atau tidak.
  • Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Negara Bagian New South Wales, Australia. ICAC dibentuk berdasarkan Undang-Undang Komisi Independen Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1988 atau Independent Commission Against Corruption Act 1988 yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, mencegah dilanggarnya kepercayaan masyarakat dan sebagai pedoman kinerja bagi pegawai pemerintahan. ICAC dipimpin oleh Commissioner yang diawasi oleh Inspector yang ditunjuk oleh gubernur dan melaporkan hasil kerjanya setiap tahun kepada Parlemen. Tiga tugas utama lembaga ini adalah untuk melakukan penyidikan dan mempublikasikan tindak pidana korupsi, melakukan pencegahan korupsi secara aktif dan mendidik masyarakat luas tentang korupsi beserta akibat-akibatnya. Hasil penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ICAC dituangkan dalam bentuk laporan yang disertai rekomendasi. Laporan ini dikirimkan kepada Parlemen dan Jaksa Agung (Director of Public Prosecutions). Jaksa Agung yang nantinya akan menentukan apakah kasus yang diselidiki oleh ICAC dapat atau tidak dilakukan penuntutan, serta membawanya ke pengadilan apabila dapat dilakukan penuntutan.
 Hal ini juga bertentangan dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against Corruption. Kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan lembaga ini tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan/Penuntutan juga tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan kepastian hukum yang berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila dalam tahap tersebut ada tersangka/terdakwa yang perkaranya ditangani KPK tiba-tiba meninggal dunia atau tidak mampu bertanggung jawab secara permanen. 

Bab III
Penutup

a.      Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
  1. KPK secara hukum dapat melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan atas perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakuknya UU KPK bahkan sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
  2. Untuk membuktikan unsur melawan hukum KPK tetap dapat menggunakan doktrin Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Fungsi Positif maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung.

b.      Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas maka dapat disarankan:
  • Kehadiran KPK selaku super body di Indonesia dengan kewenangan yang sangat luas adalah telah melampaui batas sebagai badan independen sebagai sarana untuk tindakan pencegahan dalam rangka pemberantasan korupsi sesuai yang ditetapkan dalam Article 6 United Nations Concention Against Corruption (UNAC), oleh karena itu kewenangan penuntutan oleh KPK agar dihapuskan sehingga kekuasaan penuntutan benar-benar hanya ada di Kejaksaan.
  • Dalam rangka pembaharuan hukum pidana, diharapkan penegak hukum mampu meninjau ulang tugas menuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan tugas menuntu pada Kejaksaan sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan atau dualism kewenangan.